Posted by : Unknown
Sabtu, 30 April 2016
PERJANJIAN
BILATERAL DAN KONFLIK ANTARA INDONESIA DAN NEGARA PERBATASAN
Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia yang terletak di antara 6º LU – 11º LS dan 95º BT - 141º BT,
antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, antara benua Asia dan benua Australia,
dan pada pertemuan dua rangkaian pegunungan, yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum
Mediterranean. Indonesia memiliki garis pantai sekitar 81.900 kilometer dan
wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun
laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung
dengan negara-negara seperti Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Perbatasan
darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota
yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda.
Demikian pula negara tetangga yang berbatasan, baik bila ditinjau dari segi
kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut
Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura,
Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua
Nugini.
Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa
pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil.
Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif
karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga. Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian masalah garis batas
landas kontinen dengan negara-negara tetangga dengan semangat good
neighboorhood policy atau semangat kebijakan negara bertetangga yang baik,
seperti :
1.
Indonesia-Malaysia
Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan
Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo). Pada tanggal 27 Oktober 1969
dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang
disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia kedua
negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama
berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau
Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal tersebut
membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun
Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda
tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada
tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental
dan maritim yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan
memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan
koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan
menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan
Malaysia tahun 1970.
Indonesia melihatnya sebagai usaha secara
terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah
Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan,
juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh
Mahkamah Internasional.
Batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia ditarik
dari dekat Singapura dan berakhir di dekat Pulau Batu Mandi di Selat Malaka.
Artinya tidak ada batas perairan yang berupa batas laut wilayah antara Malaysia
dan Indonesia setelah Pulau Batu Mandi ke arah Barat Laut di Selat Malaka. Yang
ada hanyalah batas landas kontinen yang ditetapkan pada tahun 1969. Batas landas
kontinen, sesuai dengan hukum laut internasional, merupakan batas yang
memisahkan dasar laut dua atau lebih negara. Batas landas kontinen tersebut
tidak mengatur batas tubuh air. Sehingga secara umum, batas landas kontinen ini
berlaku dalam hal pengelolaan lapisan di bawah laut (dasar laut) yang biasanya
digunakan untuk pertambangan lepas pantai (off shore).
Masalah yang sering terjadi :
Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di
beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati ke dua
negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di
lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.
Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan,
beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak.
Permasalahan lain antar kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan
kayu ilegal, dan penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint
Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral
dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan.
2.
Indonesia-Singapura
Batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura
ditentukan atas dasar hukum internasional. Perjanjian ini didasari atas
Konvensi PBB Tentang batas wilayah laut (The United Nations Convention on the
Law of the Sea/UNCLOS) pada 1982. Kedua negara juga turut meratifikasi UNCLOS.
Ratifikasi dari batas wilayah laut yang disetujui ini merupakan kelanjutan dari
perjanjian batas wilayah laut yang sebelumnya telah disetujui oleh kedua negara
sebelumnya pada 25 Mei 1973. Sementara perjanjian terbaru yang diratifikasi,
mempertegas batas wilayah laut dari Pulau Nipa hingga Pulau Karimun Besar.
Sedangkan pada sebelah barat, pihak keamanan dan petugas navigasi dari kedua
negara dapat melaksanakan tugas mereka secara signifikan tanpa ada gangguan di
wilayah Selat Singapura.
Perjanjian ini akan menentukan dasar hukum bagi
petugas berwenang kedua negara dalam menjaga keamanan, keselamatan navigasi,
penegakan hukum dan pengamanan atas zona maritim berdasarkan hukum yang
berlaku. Indonesia dan Singapura masih harus menyelesaikan masalah perbatasan
mereka di wilayah timur antara Batam dan Changi dan lokasi diantara Bintan
serta South Ledge, Middle Rock dan Batu Puteh. Penyelesaian batas wilayah timur
ini masih menunggu negosiasi antara Singapura dan Malaysia yang masih harus
dilakukan usai Pengadilan Internasional memerintahkan Singapura dan Malaysia
untuk melakukan perundingan pada 2008 lalu.
Masalah yang sering terjadi :
Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan
Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung
sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari
dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain
itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut,
terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang
diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata
pencaharian para nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan
sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau
Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi
Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak
pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.
3.
Indonesia-Filipina
Proses perundingan batas maritim RI – Filipina yang
dilakukan sampai dengan tahun 2007 telah mencapai kemajuan yang signifikan
dengan dihasilkannya kesepakatan atas garis batas diantara kedua Tim Teknis
Perunding. Saat ini proses perundingan masih tertunda karena persoalan internal
di pihak Filipina, yaitu dikeluarkannya Republic Act No. 9522 bulan Maret 2009,
yang berisikan perubahan dari penetapan titik-titik dasar garis pangkal
(baseline) negara kepulauan Filipina, yang sebelumnya ditetapkan dalam Republic
Act No. 3046 tahun 1961 dan Republic Act No. 5446 tahun 1968. Pada kesempatan
pertemuan bilateral tingkat kepala negara antara RI-Filipina yang
diselenggarakan pada tanggal 8 Maret 2011, Menteri Luar Negeri kedua negara
telah menandatangani Joint Declaration between the Republic of Indonesia and
the Republic of the Philippines concerning Maritime Boundary Delimitation, yang
intinya:
-
Mempercepat proses penyelesaikan penetapan batas maritim RI-Filipina sesuai dengan ketentuan
UNCLOS 1982.
-
Menginstruksikan Tim Teknis Bersama Penetapan Batas Maritim antara
Republik Indonesia dan Republik Filipina untuk bertemu dalam waktu yang secepat
mungki.
Masalah yang sering terjadi :
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim
antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas,
menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint
Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC)
yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani
permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.
4.
Indonesia-Thailand
Batas Landas Kontinen telah diselesaikan. Penetapan
garis batas landas kontinen kedua negara terletak di Selat Malaka dan laut
Andaman. Perjanjian ini ditandatangai tanggal 17 Desember 1971, dan berlaku
mulai 7 April 1972. Sedangkan untuk batas ZEE masih dirundingkan. Pertemuan
penjajagan awal telah dilaksanakan tanggal
25 Agustus 2010 di Bangkok. Thailand masih memerlukan konsultasi dengan
parlemen untuk berunding.
Masalah yang sering terjadi :
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya
masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena
jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah
memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat
tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman.
Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan
Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan
oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat
pantai Indonesia.
5.
Indonesia-Vietnam
Indonesia dan Vietnam telah menyelesaikan perjanjian
batas Landas Kontinen pada tahun 2003. Batas landas kontinen antara Indonesia –
Vietnam ditarik dari pulau besar ke pulau besar (main land to main land). Dalam
perjanjian tersebut Indonesia berhasil meyakinkan Vietnam untuk menggunakan
dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982. Dengan demikian prinsip Indonesia sebagai
negara Kepulauan telah terakomodasi. Permasalahan batas maritim antara
Indonesia dan Vietnam yang masih harus dirundingkan adalah penetapan garis
batas ZEE. Pertemuan pertama untuk membahas garis batas ZEE telah dilangsungkan
pada bulan Mei 2010 di Hanoi dan telah dilanjutkan pada pertemuan terakhir
bulan Juli 2011 di Hanoi. Kedua negara kini tengah menjajaki untuk mempelajari
proposal garis batas ZEE masing-masing.
Masalah yang sering terjadi :
Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di
Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari
245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan
perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak
sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan
tersebut.
6.
Indonesia-Australia
Perairan antara Indonesia dengan Australia meliputi
wilayah yang sangat luas, terbentang
lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan P.Chrismas.
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah
ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari
perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum
berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya.
Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste
yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi
batal dan batas-batas laut yang ada harus dirundingkan kembali secara
trilateral antara RI – Timor Leste – Australia.
Secara Garis besar perjanjian batas maritim
Indonesia – Australia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
-
Perjanjian perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai
Batas Landas Kontinen di wilayah perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
-
Perjanjian perbatasan pada tanggal 9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen
di wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
-
Perjanjian perbatasan maritim pada
tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia
Australia dari perairan selatan P.Jawa termasuk perbatasan maritim di P.Ashmore
dan P.Chrismas.
Pada tanggal 9 September 1989 telah disetujui
pembagian Timor Gap yang dibagi menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone
yang disebut ”Zone Of Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif
mulai tanggal 9 Februari 1991, perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian
yang sudah ada sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor Leste maka perjanjian
ini secara otomatis menjadi batal.
Masalah yang sering terjadi :
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi
perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu
pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997.
Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu
dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste.
7.
Indonesia-India
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India
adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya
yang berada di Laut Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14 Januari
1977 di New Delhi, tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara.
Namun, pada beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada
kesepakatan.
Masalah yang sering terjadi :
Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo
di Aceh dan pulau Nicobar di India.
Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat
tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati
oleh kedua negara. Namun permasalahan di antara kedua negara masih timbul
karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang
dilakukan para nelayan.
8. Indonesia-Papua Nugini
Batas darat Indonesia dan Papua New Guinea
didasarkan pada perjanjian Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas
Indonesia dan Papua Nugini. Ditandatangani pada Tanggal 12 Februari 1973 di
Jakarta. Pemerintah selanjutnya meratifikasi perjanjian tersebut dengan
membentuk Undang-undang Nomor 6 tahun 1973. Namun sampai saat ini perjanjian
bilateral tersebut belum menjadi landasan legal bagi survey dan demarkasi batas
darat antara kedua negara. Sebagai bagian dari perjanjian bilateral 1973, telah
didirikan 14 pilar MM di sepanjang perbatasan Indonesia dan Papua Nugini.
Titik-titik tersebut ada di 141° Bujur Timur, mulai dari pilar MM1 sampai
dengan MM10. Selanjutnya mulai dari pilar MM11 sampai dengan pilar MM14 berada
pada meridian 141° 01’ 10". Pilar MM10 dan MM11 batas kedua negara
mengikuti Thalweg dari sungai Fly. Selain ke 14 pilar MM, antara tahun 1983-
1991, sesuai amanat Pasal 9 Perjanjian 1973 antara Indonesia dengan Papua
Nugini, telah didirikan 38 Pilar MM baru. Sehingga sampai saat ini telah
berdiri 52 pilar MM di sepanjang garis perbatasan. Penambahan 38 pilar MM baru
tersebut saat ini masih tertuang dalam Deklarasi Bersama (Joint declaration)
yang ditandatangani oleh otoritas survey and mapping kedua pemerintahan.
Masalah yang sering terjadi :
Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas
wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang
dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan
kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan
klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di
kemudian hari.
8.
Indonesia-Timor
Leste
Berdirinya negara Timor Leste sebagai negara
merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan
negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor
Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang.
First Meeting Joint Border Committee Indonesia-Timor
Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap ini
disepakati penentuan batas darat berupa deliniasi dan demarkasi, yang
dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas maritim. Kemudian perundingan
Joint Border Committee kedua diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
Masalah yang sering terjadi :
Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada
diperbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat
Indonesia. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat
di kedua sisi perbatasan, dapat
menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional,
dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih
berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi
permasalahan perbatasan di kemudian
hari.
10. Indonesia-Republik Palau
Republik Palau berada di sebelah Timur Laut
Indonesia. Secara geografis negara itu terletak di 060. 51” LU dan 1350.50” BT.
Mereka adalah negara kepulauan dengan luas daratan ± 500 km2.
Berdasarkan konstitusi 1979, Republik Palau memiliki
yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga
200 mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi
kepulauan.
Masalah yang sering terjadi :
Palau memiliki Zona Perikanan yang diperluas
(Extended Fishery Zone) hingga berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang
lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang
tindih antara ZEE Indonesia dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik
Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan antara kedua negara agar terjadi
kesepakatan mengenai garis batas ZEE.